Langsung KTKP :
Oleh Hudjolly
Akhir
tahun 2010, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia secara terbuka
mengusulkan agar bahasa Indonesia menjadi salah satu bahasa resmi
ASEAN. Setahun sebelumnya, delegasi DPR RI juga telah mengutarakan usul
serupa. Indonesia pun secara resmi telah mengusulkan amandemen statuta ASEAN Inter Parliamentary Assembly (AIPA) agar bahasa Indonesia masuk dalam bahasa kerja AIPA, tentu saja selain Bahasa Inggris.
Pejabat
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan ada 45 negara di dunia
yang mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah luar negeri,
misalnya Australia, Amerika Serikat, Kanada dan Vietnam. Di Australia,
bahasa Indonesia menjadi bahasa populer keempat di mana tercatat
sekitar 500 sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia. Di Vietnam, sejak
akhir 2007, Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City telah mengumumkan
secara resmi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua. Jadilah Vietnam
sebagai anggota ASEAN pertama yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi kedua di negaranya. Bahasa Indonesia di Vietnam
disejajarkan dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang, sebagai bahasa
kedua yang diprioritaskan.
Potret di Dalam Negeri
Itulah secuil perjalanan bahasa Indonesia di mata dunia. Tetapi, bagaimana dengan kenyataan faktual di Indonesia sendiri? Pusat
bahasa Kemendiknas RI melaporkan bahwa minat masyarakat Indonesia
untuk belajar mahir berbahasa Indonesia kalah jauh dibandingkan
keinginan masyarakat untuk mahir berbahasa asing. Bahasa Indonesia
tidak terlalu diminati alias sedang mengalami proses pengabaian. Dengan
kata lain, bahasa Indonesia tidak dianggap penting untuk dipelajari
dan hanya dijadikan bahasa tutur yang dipelajari secara alamiah karena
faktor lingkungan. Demikian pula dengan sikap positif masyarakat
Indonesia terhadap bahasa Indonesia yang berada di peringkat ketiga,
tertinggal dibanding bahasa asing dan bahasa daerah. Kenyataan itu
menunjukkan bahwa Bahasa Indonesia belum dapat menjadi lambang
supremasi bahasa di tanah air sendiri. Usulan para petinggi negeri ini
untuk menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang “lebih besar”
rasanya beraroma sebagai usulan yang bersifat pencitraan Indonesia di
mata luar negeri.
Bahasa
Indonesia akan menjadi komoditas politik luar negeri untuk mencari dan
menguatkan posisi Indonesia di kancah internasional. Hal itu tidak
salah, bahkan menunjukkan “keunggulan” bahasa Indonesia. Tetapi,
tindakan tersebut perlu dibarengi dengan penguatan penguasaan bahasa
Indonesia di dalam negeri. Dengan penguatan bahasa Indonesia di semua
lini kehidupan akan menciptakan bahasa Indonesia yang prima. Selain itu,
negara pun mesti mendorong secara aktif upaya alihbahasa karya-karya
intelektual Indonesia ke dalam bahasa internasional agar masyarakat
dunia mengenali kualifikasi para pengguna bahasa Indonesia dan tertarik
untuk mempelajari. Kita harus mengakui bahwa saat ini bahasa Indonesia
belum menduduki peringkat diidolakan sebagai bahasa utama dari dunia
akademik sampai dunia hiburan.
Kesan
yang masih lekat dengan berbahasa Indonesia di mata masyarakat kita
adalah kesan yang “alamiah-tradisional”, karena kita mempelajari bahasa
Indonesia secara natural. Sejumlah survei pendidikan menyebutkan bahwa
nilai yang diraih para pelajar pada mata pelajaran bahasa Indonesia
tidak selalu mendekati sempurna. Sedangkan nilai pada mata pelajaran
bahasa Inggris lebih tinggi. Kita harus menyadari bahwa bahasa
Indonesia di negeri ini belum memiliki pamor untuk dijadikan ikon
pencitraan negara di internasional. Di kandang sendiri, bahasa
Indonesia masih kalah menarik dibandingkan dengan bahasa Inggris,
bahkan bahasa Arab. Mahir berbahasa Inggris atau berbahasa Arab bagi
orang Indonesia lebih mendatangkan kebanggaan daripada mahir berbahasa
Indonesia. Kemahiran berbahasa Indonesia dianggap sesuatu yang lumrah,
umum, dan tidak prestatif. Inilah problem penghargaan kita terhadap
Bahasa Indonesia.
Tidak
pantaskah bahasa Indonesia untuk diekspor? Secara nasionalis, harus
dijawab bahwa bahasa Indonesia sangat layak dijadikan pendamping bahasa
internasional. Tetapi jawaban tersebut harus disikapi secara realistis
dengan disertai tindakan nyata dan bukan sikap nasionalisme semata,
misalnya dengan mempromosikan kemahiran berbahasa Indonesia bagi orang
Indonesia. Para sarjana lulusan perguruan tinggi harus memiliki
kualifikasi mahir berbahasa Indonesia. Bukankah peraturan semacam itu
sudah diterapkan untuk penguasaan bahasa Inggris? Tujuan dari
kualifikasi mahir berbahasa Indonesia ialah untuk menciptakan kemahiran
berbahasa Indonesia secara sistematis dan massal. Selama ini,
kemahiran berbahasa Indonesia hanya diperoleh secara alamiah, kecuali
bagi para pelajar yang mengarahkan minat studinya pada bidang bahasa
Indonesia.
Dengan
kemahiran berbahasa Indonesia, secara otomatis akan menciptakan filter
terhadap ancaman reduksi Bahasa Indonesia menjadi bahasa prokem yang
semakin memperlebar jurang pemisah antara bahasa Indonesia yang
“formal” dan yang “tidak formal”. Rasa-rasanya, rakyat dan birokrat,
pejabat dan pengusaha, pengajar dan pelajar, wajib memupuk kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia yang ditunjukkan dengan cara menguasainya
secara baik dan benar.
Mantap !!
Source : rajaalihaji
No comments:
Post a Comment
Khusus untuk membalas komentar disarankan menggunakan tombol balas di samping komentar terkait dibandingkan menggunakan formulir komentar di bawah agar komunikasi lebih terstruktur. Karena mungkin,
apa yang Anda tanyakan/katakan saat ini akan sangat bermanfaat bagi pembaca lain.Terimakasih !